Teori Intensi Menurut Para Ahli

Pengertian Intensi

Intensi bersumber pada theory of planned behavior yang dapat secara akurat memperkirakan kecenderungan perilaku pada individu. Teori planned behavior ini berdasarkan asumsi bahwa setiap manusia adalah makhluk rasional secara sitematis untuk dirinya sendiri. Setiap individu akan mempertimbangkan dampak dari setiap perilaku mereka, sebelum mereka memutuskandalam bertindak. Jika dikaitkan dengan perilaku bullying, maka faktor penentu yang terpenting dari bullying adalah intensinya.

Intensi diartikan sebagai faktor motivasional yang bisa mempengaruhi tindakan. Intensi menemukan seberapa keras individu berusaha untuk merencanakan dan mengusahakan munculmya perilaku untuk dirinya sendiri. Ajzen (2005) Intensi mempunyai tiga aspek, yaitu attitude toward behavior, subjective norm, dan perceived behavior control.

Konsep tentang intensi diajukan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) yang diartikan sebagai kemungkinan subjektif seseorang uniuk melakukan suatu perilaku tertentu. Kemudian ditegaskan bahwa niat individu untuk melakukan sesuatu itu merupakan suatu fungsi dari (1) sikap terhadap perwujudan perilaku dalam situasi tertentu, sebagai faktor personal atau attitudinal. Hal ini berhubungan dengan orientasi seseorang dan berkembang atas dasar keyakinan dan pertimbangan terhadap apa yang diyakini itu, dan (2) norma-norma yang berpengaruh atas perwujudan perilaku dan motivasi seseorang untuk patuh pada norma itu, sebagai faktor sosial atau normative. Ini merupakan gabungan antara persepsi reference-group atau significant-person terhadap perwujudan perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975).

Secara ringkas pengertian intensi adalah ubahan yang paling dekat dengan perilaku yang dilakukan oleh individu, dan merupakan ubahan yang menjembatani antara sikap dan perilaku nyata (Ajzen, 1988). Sedangkan menurut Bandura (dalam Ajzen, 1988), intensi adalah suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktifitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu dimasa yang akan datang.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa intensi adalah niat atau suatu keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu hal.

Teori Intensi

Terdapat dua teori intensi, yaitu theory of reasoned action dan theory of planned behavior.

Theory of reasoned action, merupakan tingkah laku yang muncul dengan alasan tertentu dengan pertimbangkan dampak dari tingkah laku tersebut menginginkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dasar teori ini adalah adanya anggapan bahwa manusia selalu bertindak dengan cara yang masuk akal. Oleh karena itu dasar teori ini intensi ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari kepribadian orang yang bersangkutan dan faktor yang berasal dari pengaruh-pengaruh lingkungan sosialnya.

Theory of planned behavior beranggapan bahwa individu melakukan aljabar kognitif, menimbang kekuatan dan nilai kepercayaan yang dimiliki yang pada akhirnya mempengaruhi intensi seseorang yaitu faktor perbuatan terhadap perilaku (attitude toward behavior), norma subjektif (subjective norm), dan persepsi atas kontrol perilaku (perceived behavioral control) (Adelina, Hanurawan, & Suhati, 2017)

Aspek-aspek Intensi

Terdapat tiga determinan dasar dalam intensi, yaitu :

1) Attitude Toward The Behavior (sikap terhadap perilaku)

Sikap terhadap berperilaku merupakan suatu fungsi yang berlandasan oleh behavioral beliefs, yaitu belief (keyakinan). Sikap dalam berperilaku (attitude toward the behavior) mengartikan tingkatan penilaian positif atau negative individu pada suatu perilaku. Attitude toward the behavior ditentukan oleh penggabungan antara belief pada seseorang tentang pengaruh positif ataupun negatif dari perilaku yang dimunculkan (behavioral beliefs) dengan nilai subjektif seseorang terhadap pengaruh berperilaku yang akan dihasilkan tersebut (outcome evaluation).

2) Norm Subjective (Norma Subjektif)

Norm subjective (norma subjektif) didiartikan sebagai pemahaman seseorang tentang pengaruh dari lingkungan sekitar untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan dalam berperilaku. Subjective norm ditentukan pada gabungan antara belief seseorang tentang setuju atau tidak setuju seseorang dalam kelompok yang dianggap penting bagi individu terhadap suatu perilaku (normative beliefs) dan motivasi seseorang untuk mematuhi bujukan tersebut (motivation to comply).

3) Perceived Behavioral Control (persepsi pengendalian diri)

Persepsi pengendalian diri diartikan sebagai fungsi berlandasan pada control belief, yakni belief seseorang mengenai ada atau tidak adanya faktor pendukung atau penghambat untuk dapat memunculkan perilaku. Semakin seseorang merasakan adanya banyak faktor yang mempengaruhi untuk mendukungnya atau sedikit faktor penghambat untuk melakukan suatu tundakan, maka lebih besar kontrol yang mereka rasakan atas suatu tindakan tersebut dan sebalinya. Perceived behavioral control (persepsi pengendalian diri) penggabungan dua faktor yang dapat menentukan yakni (control belief) keyakinan seseorang mengenai ketersediaan kesempatan ataupun (perceived power) kekuatan yang mendukung atau menghambat munculnya suatu perilaku (Wikamorys & Rochmach, 2017).

Kaitan antara Sikap, Intensi dan Perilaku

Berkaitan dengan kekhususan dari intensi yang telah dijelaskan, Fishbein dan Ajzen (1975) menandaskan bahwa intensi harus dipandang sebagai fenomena bebas dan khusus, bukan hanya sekedar bagian dari sikap itu sendiri. Karena ada kemungkinan dua orang yang mempunyai sikap yang sama terhadap suatu hal, tetapi mempunyai intensi yang berbeda. Sikap bukan merupakan prediktor terbaik untuk teijadinya suatu perilaku spesifik dan situasi spesifik pula, sehingga menggunakan sikap akan mengalami kesulitan, sebab antara sikap dan perilaku terdapat komponen mediator, yaitu intensi. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Ajzen (dalam Brigham, 1991) mengenai kaitan antara pengetahuan, sikap, intensi dan perilaku.

Dari pengetahuan tentang perilaku ini akan tumbuh keyakinan dalam diri seseorang (behavioral beliefs and outcome evaluation), dan sikap tertentu pada suatu perilaku (attitude toward the behavior). Sikap terhadap perilaku ini dapat positif atau negatif tergantung dari segi positif atau negatif pengetahuan yang dimilikinya. Semakin banyak hal positif dari pengetahuan, maka akan semakin positif sikap yang terbentuk. Berlaku juga sebaliknya, semakin banyak hal negatifnya, makin negatif sikap yang terbentuk.

Kemudian, keyakinan normatif terhadap suatu perilaku yang dipandang orang lain dan motivasi untuk berbuat sesuai dengan pandangan orang lain (normative beliefs and motivation to comply), akan menimbulkan norma subjektif tentang perilaku (subjective norm). Keyakinan normatif seseorang tentang perilaku ini berisi pengetahuan tentang pandangan orang lain atau kelompoknya yang dianggap berpengaruh. Misalnya, adalah pandangan dari orangtua, pacar, suami, isteri atau siapa saja yang berpengaruh terhadap suatu keharusan atau ketidakharusan untuk melakukan perilaku menolong. Pandangan dari orang yang berpengaruh ini tidak ditanyakan langsung pada mereka, tetapi ditujukan pada individu yang menjadi responden. Hanya persepsi individu tentang bagaimana pikiran orang lain. Sementara norma subjektif berisi keputusan yang diambil individu setelah mempertimbangkan pandangan orang yang berpengaruh. Seseorang akan terpengaruh atau tidak itu tergantung dari dia sendiri, mau mematuhi atau tidak terhadap harapan orang lain.

Secara lebih mendalam, Fishbein menyadari bahwa sikap seseorang terhadap suatu obyek tidak harus secara kuat atau tersistematis berhubungan dengan perilaku mereka. Sebaliknya penentu langsung apakah konsumen akan terlibat dalam suatu perilaku adalah intensi atau keinginan mereka untuk terlibat dalam perilaku tersebut. Fishbein memodifikasi serta memperluas model sikap multiciri dan mengkaitkan kepercayaan dan sikap konsumen pada intensi berperilaku mereka. Model Fishbein ini disebut sebagai theory of reasoned action atau teori tindakan beralasan.

Dinamakan demikian karena teori ini mengasumsikan bahwa tindakan konsumen secara sadar akan mempertimbangkan konsekuensi alternatif perilaku yang sedang dipertimbangkan, dan memilih salah satu yang dapat memberikan konsekuensi yang paling diharapkan. Hasil dari proses pilihan beralasan ini adalah suatu intensi untuk terlibat dalam perilaku yang dipilih. Keinginan berperilaku adalah alat prediksi perilaku nyata yang terbaik. Pada intinya teori tindakan beralasan ini menyatakan bahwa perilaku disengaja yang cukup rumit (seperti membeli sebuah komputer-saku) ditentukan oleh intensi atau keinginan seseorang untuk menyatakan perilaku tersebut. Teori tindakan beralasan tidak relevan pada perilaku yang sangat sederhana atau yang tidak disengaja seperti mengedipkan mata, merogoh saku ketika handphone berbunyi atau melompat kaget ketika mendengar klakson kereta api yang berada dibelakang kita.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi

Ajzen dan Fishbein (1975) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi kuatnya hubungan antara intensi dan perilaku yaitu :

  1. Derajat hubungan intensi dan perilaku dalam tingkat spesifikasi. Semakin besar derajat spesifitas, semakin tinggi korelasi antara intensi dan perilakunya. Hal ini ditunjukkan oleh semakin spesifik/rincinya sebuah intensi yang pada gilirannya akan memperbesar prediksi terhadap suatu perilaku.
  2. Stabilitas intensi. Intensi seseorang dapat berubah atau berganti seiring berlalunya waktu dengan melihat kemungkinan diperolehnya informasi-informasi baru atau munculnya kejadian-kejadian tertentu yang dapat mempengaruhi intensi semula selama interval waktu antara intensi dan perilaku. Dalam hal ini tingkat ketergantungan terhadap orang lain atau kejadian lain juga turut mempengaruhi stabilitas intensi. Semakin besar tingkat ketergantungannya, semakin rendah tingkat korelasi intensi perilaku.
  3. Kendali kemauan. Kemauan merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan (Richard & Hamber)

Kuhl, Liska, Sarver dan Triandis (dalam Ajzen, 1988) turut mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi intensi, antara lain adalah :

Faktor Internal, meliputi :

1) Informasi, keterampilan dan kemampuan.

Ketiga hal diatas merupakan kendali seseorang dalam membentuk intensinya atas keinginan untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Sebagai contoh adalah keinginan seseorang untuk membantu temannya dalam memperbaiki sepeda motornya, namun tidak memiliki keterampilan dan kemampuan untuk itu.

2) Emosi dan Kompulsitas.

Emosi dan kompulsitas merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi pembentukan intensi seseorang, terutama ketika muatannya berbeda dan tidak searah dengan isi intensi. Sebagai contoh, intensi seseorang untuk belajar akan menjadi sulit terwujud ketika emosinya sedang marah atau tertekan.

Faktor Eksternal, meliputi :

1) Kesempatan

Pada banyak kejadian, maka intensi seseorang untuk melakukan suatu perilaku banyak bergantung pada kesempatan yang dimiliki untuk melakukannya.

2) Ketergantungan pada orang lain

Beberapa perilaku hanya dapat diwujutkan jika ada aksi orang lain yang mendahului atau menyertainya. Pada perilaku semacam ini, kontrol individu akan perilaku maupun intensinya cukup rendah. Berdasarkan bahasan diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang turut mempengaruhi intensi ialah tingkat spesifikasi, stabilitas intensi, kendali kemauan, informasi, kemampuan dan keterampilan, emosi dan kompulsitas, kesempatan serta ketergantungan pada orang lain atau situasi lain

Kekhususan Intensi

Intensi dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku, merupakan sesuatu yang sifatnya khusus dan mengarah pada dilakukannya suatu perilaku khusus dalam situasi khusus pula (Fishbein & Ajzen dalam Ilardo, 1981). Kekhususan intensi tersebut, terdapat dalam empat dimensi pembatas, yaitu:

  1. .Perilaku, yaitu perilaku khusus yang nantinya akan diwujudkan. Perilaku dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perilaku yang general (umum) dan perilaku yang specifik (khusus). Dalam hal ini, intensi termasuk dalam perilaku yang khusus.
  2. Tujuan target , yaitu siapa yang akan menjadi tujuan perilaku khusus tersebut. Komponen ini terdiri dari particular object (orang tertentu; misalnya si Fulan); a class of object (sekelompok orang tertentu: misalnya orang-orang yang mempunyai jabatan tertentu); dan any object (orang-orang pada umumnya).
  3. Situasi, yaitu dalam situasi yang bagaimana perilaku itu diwujudkan. Dalam hal ini, situasi dapat diartikan sebagai tempat atau suasana situasi. Misalnya: Si Pur membantu Andiono membetulkan motor di garasi.
  4. Waktu, yaitu menyangkut kapan dan berapa lama suatu perilaku akan diwujudkan. Misalnya: Si Rup membantu Andiono di garasi pada minggu pagi. Berdasarkan berbagai teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa intensi membeli adalah suatu niat atau keinginan seseorang untuk membeli sesuatu baik itu yang berupa barang maupun jasa yang akan segera diwujudkan dalam perilakunya (membeli).

Sumber Bacaan

Fishbein, M, & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Reading, MA: Addison-Wesley.

Ajzen, I., (1988) Attitudes, Personality, and Behavior, Dorsey Press: Chicago.

Adelina, F., Hanurawan, F., & Suhati, I. Y. (2017). Hubungan Antara Prasangka Sosial Dan Intensi Melakukan Diskriminasi Mahasiswa Etnis Jawa Terhadap Mahasiswa Yang Berasal Dari Nusa Tenggara Timur. Jurnal Sains Psikologi, 6(1), 1–8. Retrieved From Http://Journal2.Um. Ac .Id/Index.Php/Jspsi/Article/View/94

Wikamorys, D. A., & Rochmach, T. N. (2017). Aplikasi Theory Of Planned Behavior Dalam Membangkitkan Niat Pasien Untuk Melakukan Operasi Katarak. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia, 5(1), 32–40. Https: //Doi. Org/10.1016/J.Jenvman.2018.01.013

Brigham, J. C. 1991. Social Psychology. Edisi Kedua. New York : Harper Colling Publisher Inc

Ilardo, J. A. (1981). Speaking Persuasively. New York: Macmillan Publishing Co., Inc

Tag: , , , , , ,

Diposting oleh Adica


Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *